Kota Palembang mempunyai ragam bentuk tarian, baik tarian adat yang berkaitan dengan kepercayaan lama sebagai penolak bala dan pemujaan, sendratari, maupun tari tarian kreasi sebagai tarian hiburan. Bentuk-bentuk tari tersebut diatas berbeda satu sama lainnya, dan masing-masing mempunyai keunikan tersendiri, salah satu diantaranya adalah tari Lilin Siwa di Kota Palembang.
Berdasarkan sejarahnya, tari Lilin Siwa bersumber dari cerita lisan yang turun-temurun berdasarkan pengalaman orang tua (leluhur) sebelumnya. Tari Lilin Siwa belum pernah diteliti, dicatat maupun dibukukan, dan diperkirakan pada tahun 1943,
tari Lilin Siwa baru dipopulerkan kembali oleh anak seorang Residen Palembang yaitu Sukainah A. Rozak.Tari Lilin Siwa tetap eksis pada masyarakat Palembang, kelestariannya terbukti dengan dipertunjukan tarian ini di beberapa kepulauan Indonesia bahkan kemanca negara, ini adalah salah satu bukti kepedulian Sumatera Selatan akan keberadaan tari Lilin Siwa. Keunikan tari Lilin Siwa terletak pada properti yang digunakan para penari yaitu piring dan lilin. Lilin yang menyala di piring diletakkan di kepala, kedua telapak tangan, di jemari tangan, lengan bagian atas dan di kepala penari yang menari di atas piring, sehingga menimbulkan nilai estetis berupa keunikan-keunikan , baik pada pola lantai maupun geraknya yang menyerupai arca dewa Syiwa, serta kostumnya yang sangat mewah.
Konsentrasi tinggi, keseimbangan tubuh dan ketenangan jiwa para penari sangat dituntut, dalam menarikan tari Lilin Siwa. Geraknya lebih banyak menggunakan gerakan tangan yang selalu menggunakan properti piring dan lilin, dengan gerakan yang lemah gemulai melambangkan kelembutan para gadis Palembang yang mengalir seperti aliran sungai Musi. Tari Lilin Siwa ini ditarikan oleh wanita remaja berusia kurang lebih 15 tahun dengan jumlah penarinya minimal tiga orang.
Pada umumnya sebuah tarian sangat erat kaitannya dengan musik pengiring tari, karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Musik tari Lilin Siwa hampir mirip dengan Musik Tiga Serangkai dengan Lagu Nasep (musik khas Palembang). Alat musik yang mendukung tari ini yaitu: Accordeon, Biola, Saxophone, Gong, Gitar, Kenong, Bonang, Tok-Tok dan Gendang.
Tata busana yang merupakan penunjang, dan penambah keindahan suatu tarian sangat terlihat dalam tari Lilin Siwa sehingga tari ini tampak lebih megah, semegah kejayaan kerajaan Sriwijaya tempo dulu. Busana yang dipergunakan adalah Pakaian Gede atau Hiasan Gede (pakaian khas Palembang yang biasanya dipakai untuk pakaian pengantin wanita di Palembang), Hiasan Gede dipakai oleh penari inti, sedangkan penari yang lainnya menggunakan Hiasan Dodot atau Selendang Mantri. Makna kostumnya lebih menekankan kepada kejayaan zaman Hindu Budha pada Zaman kerajaan Sriwijaya yang kuat dipengaruhi kebudayaan Cina, terutama pada hiasan kepala, dada, dan tangan. Langer berpendapat:
Karena karya seni itu merupakan bentuk ekspresi yang agak mirip dengan simbol, serta memiliki makna yang merupakan sesuatu yang menyerupai artinya, oleh karena itu bentuk ekspresi ini mewujudkan sesuatu abstraksi yang logis. cara yang terbaik untuk mengerti semua semantika semu ini dengan memikirkan apa seni itu dan apa yang diungkapkannya, dan tindakannya dengan apa yang terjadi pada bahasa (atau simbolisme yang asli manapun).
Tari Lilin Siwa dapat dipandang sebagai lambang, jika dilihat melalui gerak, pola lantai tari Lilin Siwa, dan kostum mengandung arti simbol-simbol tertentu yang menyimpan nilai-nilai masa lalu (Primodial) Hindu. Berdasarkan fenomena masyarakat Hinduisme, bahwa dewa Syiwa adalah dewa kesuburan,
kematian dan perusak, dalam agama Hindu Syiwa dikenal sebagai Dewa tertinggi oleh karena itu dewa Siwa selalu di puja oleh umat Hindu agar terlepas dari semua angkara murkanya. Penemuan Arca Syiwa Mahadewa, berbahan dasar perunggu. Arca ini ditemukan di Palembang, saat ini disimpan di Musium Nasional, Jakarta.
Semoga bermanfaat, pengetahuan memberikan kekuatan
No comments:
Post a Comment